Labi-labi atau bulus sering menjadi perbincangan dalam masyarakat terkait status kehalalannya. Hewan ini hidup di habitat air tawar seperti sungai dan danau, namun apakah mengonsumsinya diperbolehkan dalam Islam? Artikel ini akan membahas pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), ulama, serta aspek ekologis terkait konsumsi labi-labi.
Apa Itu Labi-Labi atau Bulus?

Labi-labi, dikenal juga sebagai bulus, merupakan jenis kura-kura berpunggung lunak yang termasuk dalam keluarga Trionychidae. Hewan ini memiliki habitat di perairan tawar seperti sungai, rawa, dan danau. Berbeda dengan kura-kura biasa, labi-labi memiliki cangkang yang fleksibel dan lunak.
Habitat dan Karakteristik
Labi-labi hidup di dua lingkungan, yaitu darat dan air, namun lebih sering ditemukan di perairan tawar. Hewan ini bernapas melalui paru-paru dan sering kali muncul ke permukaan air untuk mengambil oksigen. Labi-labi juga dikenal sebagai predator yang memangsa ikan kecil, serangga, dan tumbuhan air. Dalam ekosistem, labi-labi memainkan peran penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan perairan.
Hewan ini juga memiliki kemampuan adaptasi tinggi terhadap perubahan habitat. Sayangnya, perburuan liar dan hilangnya habitat alami membuat populasi labi-labi terus menurun, sehingga membutuhkan perhatian serius untuk pelestariannya.
Pandangan Ulama tentang Konsumsi Labi-Labi
Perspektif Mazhab Maliki
Dalam Mazhab Maliki, terdapat perbedaan pendapat mengenai kehalalan labi-labi. Sebagian ulama menganggap labi-labi sebagai hewan yang boleh dikonsumsi tanpa harus disembelih, karena dianggap mirip dengan ikan. Namun, pendapat lain menyatakan bahwa labi-labi perlu disembelih sesuai syariat sebelum dikonsumsi.
Hal ini didasarkan pada sifat labi-labi yang menghabiskan sebagian besar waktunya di air, sehingga dianggap sejalan dengan hukum hewan air dalam Islam. Namun, kehalalan tersebut tetap mensyaratkan proses penyembelihan yang benar jika hewan ini hidup di dua alam.
Perspektif Mazhab Syafi’i
Mayoritas ulama dalam Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa hewan yang hidup di dua alam (amfibi) hukumnya haram untuk dikonsumsi. Namun, labi-labi dianggap sebagai hewan darat yang tinggal di air, sehingga tidak termasuk kategori amfibi. Dengan demikian, labi-labi diperbolehkan untuk dikonsumsi dengan syarat disembelih sesuai ketentuan Islam.
Pendapat ini menekankan pentingnya pemahaman mendalam terhadap habitat dan perilaku hewan untuk menentukan status kehalalannya. Dalam konteks labi-labi, meskipun habitatnya berada di air, ia tidak sepenuhnya tergolong sebagai hewan amfibi.
Fatwa MUI tentang Konsumsi Labi-Labi

Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa Nomor 51 Tahun 2019 yang membahas status hukum konsumsi labi-labi. Menurut fatwa tersebut, labi-labi adalah hewan yang halal untuk dikonsumsi (ma’kul al-lahmi) dengan syarat disembelih secara syar’i. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:
- Hewan Langka: Labi-labi termasuk dalam kategori hewan yang terancam punah dan wajib dilindungi. Oleh karena itu, MUI merekomendasikan agar konsumsi labi-labi berasal dari hasil budidaya, bukan dari perburuan liar.
- Etika Lingkungan: Konsumsi labi-labi harus mempertimbangkan dampak ekologisnya. Eksploitasi yang berlebihan dapat mengganggu keseimbangan ekosistem dan mengancam populasi hewan ini.
Fatwa ini menunjukkan perhatian MUI terhadap pelestarian hewan langka sekaligus memberikan panduan bagi umat Islam agar tetap dapat mengonsumsinya dengan bijak.
Pertimbangan Ekologis dalam Konsumsi Labi-Labi
Status sebagai Hewan Langka
Labi-labi termasuk dalam daftar hewan yang dilindungi karena populasinya terus menurun akibat perburuan liar dan kerusakan habitat. Mengonsumsi labi-labi tanpa mempertimbangkan dampak ekologis dapat mempercepat kepunahannya. Hal ini juga dapat berdampak buruk pada keseimbangan ekosistem perairan.
Peran dalam Ekosistem
Sebagai predator alami di habitatnya, labi-labi memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem perairan. Kehilangannya dapat menyebabkan gangguan pada rantai makanan dan ekosistem secara keseluruhan. Predator seperti labi-labi membantu mengontrol populasi hewan lain, sehingga mencegah ledakan populasi yang merusak.
Pentingnya Budidaya
Untuk menjaga keberlanjutan spesies, MUI merekomendasikan budidaya labi-labi sebagai alternatif sumber konsumsi. Budidaya tidak hanya membantu melestarikan spesies, tetapi juga memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Dengan pengelolaan yang tepat, budidaya labi-labi dapat menjadi solusi efektif untuk mengurangi perburuan liar sekaligus memenuhi permintaan pasar.
Budidaya labi-labi juga membuka peluang bisnis baru yang ramah lingkungan, menciptakan lapangan kerja, dan mendukung keberlanjutan sumber daya alam.
Proses Penyembelihan yang Syar’i

Agar konsumsi labi-labi sesuai dengan ketentuan Islam, penyembelihan harus dilakukan secara syar’i. Proses ini meliputi:
- Menyebut Nama Allah: Saat menyembelih, penyembelih harus mengucapkan “Bismillah” sebagai tanda permohonan keberkahan.
- Alat yang Tajam: Penyembelihan harus menggunakan alat yang tajam untuk memastikan hewan tidak menderita.
- Memutuskan Saluran Utama: Proses penyembelihan harus memutuskan saluran pernapasan, saluran makanan, dan pembuluh darah utama untuk memastikan kematian yang cepat dan bersih.
Proses penyembelihan ini menjadi syarat penting agar konsumsi labi-labi sesuai dengan syariat Islam. Dengan mengikuti prosedur ini, umat Islam dapat menikmati daging labi-labi tanpa keraguan terhadap kehalalannya.
Bijak Mengonsumsi Labi-Labi: Halal dengan Konservasi
Menurut Fatwa MUI Nomor 51 Tahun 2019, labi-labi atau bulus adalah hewan yang halal untuk dikonsumsi oleh umat Islam dengan syarat disembelih sesuai ketentuan syariat. Namun, mengingat statusnya sebagai hewan langka, disarankan untuk hanya mengonsumsi labi-labi dari hasil budidaya untuk menjaga kelestariannya.
Dengan memahami aspek syar’i dan ekologis, umat Islam dapat mengambil keputusan bijak dalam mengonsumsi labi-labi. Upaya ini tidak hanya mendukung kelestarian spesies, tetapi juga mencerminkan tanggung jawab sebagai khalifah di bumi.
Melalui konsumsi yang bertanggung jawab dan dukungan terhadap budidaya, umat Islam dapat menjaga keseimbangan ekosistem dan memastikan keberlanjutan spesies labi-labi di masa depan.