Dalam dunia Islam, terdapat berbagai aliran pemikiran yang memengaruhi cara umat menjalankan ajaran agama. Dua aliran yang sering menjadi perbincangan adalah Wahabi dan Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja). Meskipun keduanya berakar pada Al-Qur’an dan Hadis, terdapat perbedaan signifikan dalam cara keduanya menginterpretasikan dan menerapkan ajaran Islam. Artikel ini akan membahas perbedaan antara Wahabi dan Aswaja dalam praktik keagamaan, mulai dari aspek teologis hingga pendekatan budaya.
Latar Belakang Sejarah
Sejarah Wahabi
Gerakan Wahabi didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad ke-18 di Najd, Arab Saudi. Tujuan utamanya adalah memurnikan ajaran Islam dari praktik-praktik yang dianggap bid’ah (inovasi dalam agama) dan syirik (penyekutuan Allah). Wahabi berfokus pada pemahaman literal Al-Qur’an dan Hadis serta menolak interpretasi yang dianggap menyimpang dari Islam yang murni.
Sejarah Aswaja
Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) tidak memiliki pendiri tertentu, melainkan berkembang secara alami dalam sejarah Islam. Aswaja mencerminkan mayoritas umat Islam yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan konsensus para sahabat. Pendekatan Aswaja dikenal moderat dan inklusif, menghargai keberagaman pemahaman dalam Islam.
Perbedaan Pemahaman Teologis
Konsep Tauhid
Wahabi membagi tauhid menjadi tiga kategori:
- Tauhid Rububiyah: Pengesaan Allah sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta.
- Tauhid Uluhiyah: Menekankan ibadah hanya kepada Allah tanpa perantara.
- Tauhid Asma wa Sifat: Memahami nama dan sifat Allah secara literal tanpa menyerupakannya dengan makhluk.
Sebaliknya, Aswaja tidak membagi tauhid menjadi kategori, tetapi menekankan keseimbangan antara aspek rububiyah dan uluhiyah. Dalam memahami sifat Allah, Aswaja menggunakan pendekatan tafwid (menyerahkan makna kepada Allah) atau ta’wil (penafsiran metaforis), yang dianggap lebih fleksibel.
Sikap terhadap Bid’ah
Wahabi sangat tegas menolak bid’ah, menganggap semua inovasi dalam agama sebagai penyimpangan. Mereka hanya menerima praktik yang diajarkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW.
Di sisi lain, Aswaja membedakan antara bid’ah hasanah (inovasi yang baik) dan bid’ah sayyiah (inovasi yang buruk). Aswaja menerima inovasi yang tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam dan membawa manfaat bagi umat.
Perbedaan dalam Praktik Ibadah
Ritual Keagamaan
Wahabi cenderung ketat dalam praktik ibadah. Mereka menolak amalan seperti tawassul (meminta perantaraan), ziarah kubur untuk meminta berkah, dan perayaan Maulid Nabi, karena dianggap tidak memiliki dasar dalam sunnah.
Sebaliknya, Aswaja lebih fleksibel. Mereka menerima tradisi seperti tawassul, ziarah kubur, dan Maulid Nabi sebagai ekspresi kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, asalkan tidak mengandung unsur syirik.
Pendekatan Fiqih
Wahabi mendorong ijtihad (upaya penafsiran hukum Islam) langsung dari Al-Qur’an dan Hadis. Mereka cenderung menolak taqlid (mengikuti) mazhab secara kaku.
Aswaja mengikuti salah satu dari empat mazhab fiqih utama (Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali) sebagai panduan dalam beribadah. Pendekatan ini memungkinkan umat Islam untuk menyesuaikan praktik keagamaan dengan konteks lokal.
Interaksi dengan Budaya Lokal
Pendekatan Wahabi
Wahabi menolak integrasi tradisi dan budaya lokal jika dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam yang murni. Mereka berupaya menghilangkan unsur-unsur budaya yang dianggap bid’ah atau syirik.
Pendekatan Aswaja
Aswaja lebih akomodatif terhadap budaya lokal, selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam. Akulturasi budaya dianggap sebagai cara untuk memperluas dakwah dan memperkuat hubungan sosial dalam masyarakat.
Pengaruh terhadap Masyarakat Muslim
Pendidikan dan Dakwah
Wahabi menekankan pendidikan agama yang berfokus pada pemurnian tauhid dan penolakan terhadap praktik-praktik yang dianggap bid’ah. Mereka aktif menyebarkan dakwah melalui berbagai media dan lembaga pendidikan.
Aswaja mengedepankan pendidikan yang seimbang antara ilmu agama dan ilmu umum. Dakwah mereka lebih inklusif, menyesuaikan dengan konteks lokal dan mendorong moderasi dalam beragama.
Sikap terhadap Kelompok Lain
Wahabi memiliki sikap eksklusif terhadap kelompok lain yang berbeda pandangan. Mereka sering mengkritik praktik keagamaan yang tidak sejalan dengan pemahaman mereka.
Aswaja lebih toleran dan menghargai perbedaan pendapat dalam kerangka ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama Muslim). Mereka mendorong dialog untuk mencapai kesepahaman antar kelompok.
Memahami Keragaman Islam: Jalan Menuju Harmoni
Meskipun Wahabi dan Aswaja memiliki perbedaan signifikan dalam praktik keagamaan, keduanya berakar pada Al-Qur’an dan Hadis. Perbedaan ini mencerminkan kekayaan intelektual dalam Islam yang seharusnya menjadi alasan untuk saling belajar dan menghormati.
Dengan memahami karakteristik masing-masing, umat Islam dapat memperkuat persatuan dalam keragaman dan mempraktikkan agama sesuai dengan nilai-nilai yang diyakini. Pendekatan inklusif dan dialog terbuka menjadi kunci untuk menjaga harmoni dalam masyarakat yang beragam.