Hari raya Idul Fitri adalah simbol kemenangan, penuh dengan sukacita dan rasa syukur setelah menjalani ibadah puasa selama sebulan penuh. Bagi sebagian besar umat Islam, momen ini adalah saat untuk berkumpul, mengenakan pakaian terbaik, menikmati makanan lezat, dan berbagi kebahagiaan bersama keluarga serta kerabat. Namun, tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama dalam merayakan hari yang fitri tersebut. Di antara mereka, ada anak-anak yatim yang terabaikan, menangis di sudut jalan, atau hanya bisa menyaksikan tawa bahagia orang lain.
Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW adalah teladan kasih sayang dan kepedulian terhadap kaum lemah, khususnya anak yatim. Salah satu kisah paling menyentuh hati adalah ketika beliau bertemu seorang anak yatim yang sedang bersedih di hari raya. Kisah ini tak hanya menggetarkan hati, namun juga membawa pesan yang kuat tentang makna empati dan cinta dalam Islam.
Rasulullah SAW dan Perjalanan Menuju Shalat Id
Suasana Hari Raya di Kota Madinah
Di pagi hari Idul Fitri, Kota Madinah dipenuhi dengan aroma kebahagiaan. Orang-orang keluar dari rumah dengan pakaian terbaik mereka, membawa sedekah, mempersiapkan diri untuk shalat Id bersama Rasulullah SAW. Anak-anak terlihat bermain di jalan, tertawa riang sambil memamerkan baju barunya. Wajah mereka bersinar penuh semangat. Namun, tidak jauh dari kerumunan itu, duduklah seorang anak kecil dengan pakaian kumal dan wajah yang dipenuhi kesedihan.
Perhatian Rasulullah SAW
Rasulullah SAW yang sedang berjalan menuju tempat shalat memperhatikan anak kecil itu. Beliau menghentikan langkahnya dan perlahan mendekati anak tersebut. Wajah Rasulullah dipenuhi dengan kelembutan dan kasih sayang, tanda seorang pemimpin yang peduli pada rakyatnya, terutama anak-anak.

Dialog Mengharukan dengan Anak Yatim
Anak Kecil yang Terlupakan
Rasulullah SAW bertanya dengan lembut, “Wahai anak kecil, mengapa engkau duduk sendiri di sini saat semua orang bergembira?”
Anak itu mengangkat wajahnya, menatap Rasulullah dengan mata berkaca-kaca. Ia menjawab pelan, “Aku tidak punya ayah. Ia gugur dalam pertempuran bersama Rasulullah. Ibuku menikah lagi, dan aku ditinggalkan. Tidak ada yang memberiku baju baru atau makanan enak di hari ini. Aku merasa sendiri, wahai Tuan.”
Respons Rasulullah SAW
Hati Rasulullah SAW tersentuh mendalam. Tanpa berkata panjang, beliau meraih tangan kecil anak itu dan berkata, “Maukah engkau jika aku menjadi ayahmu? Aisyah menjadi ibumu? Dan Fatimah menjadi kakakmu?”
Mata anak itu berbinar dan senyum mulai muncul dari wajah sedihnya. “Bagaimana aku bisa menolak tawaran seindah itu, wahai Rasulullah?”
Rasulullah Membawa Pulang Anak Yatim
Kembali ke Rumah
Rasulullah SAW menggandeng anak itu menuju rumahnya. Setibanya di rumah, beliau menyuruh para istri dan keluarganya untuk merawat anak itu, memandikannya, memberinya pakaian baru, dan makanan lezat. Tak hanya itu, anak tersebut juga diberi tempat tinggal dan kasih sayang yang tak ia rasakan sejak lama.
Kembali Bahagia
Anak itu kemudian terlihat bermain bersama anak-anak lain dengan wajah ceria. Seorang sahabat bahkan menyebut, “Anak itu terlihat seperti anak yang paling bahagia hari ini.” Semua itu karena cinta dan perhatian Rasulullah yang tak hanya dalam kata, tapi diwujudkan dalam tindakan nyata.

Makna dan Hikmah di Balik Kisah
Islam adalah Agama Kasih Sayang
Kisah ini mencerminkan ajaran Islam yang mendalam tentang kasih sayang. Islam bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan, tapi juga sesama manusia, terutama mereka yang lemah dan tak berdaya. Rasulullah SAW tidak hanya memberikan materi, tetapi juga kasih dan pengakuan sebagai keluarga. Itu jauh lebih berarti.
Meneladani Rasulullah SAW
Sebagai umatnya, sudah sepatutnya kita meneladani tindakan Rasulullah ini. Hari raya bukan hanya tentang berpesta dan mengenakan pakaian baru, tapi tentang membagi kebahagiaan dengan mereka yang tak memilikinya. Membantu anak yatim, menyantuni mereka, dan memperhatikan kebutuhannya adalah bagian dari iman.
Membahagiakan Anak Yatim adalah Ibadah
Dalam banyak hadis, Rasulullah SAW menyebutkan keutamaan orang yang menyantuni anak yatim. Salah satunya, “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini,” sambil menunjuk jari telunjuk dan jari tengah beliau, dan merenggangkan keduanya. (HR. Bukhari)

Implementasi dalam Kehidupan Modern
Momen Hari Raya untuk Berbagi
Kisah ini relevan hingga hari ini. Di tengah modernitas, masih banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan hidup dalam kekurangan. Hari raya seharusnya menjadi momen untuk melihat sekitar: apakah tetangga kita bisa merayakan Idul Fitri dengan layak? Apakah ada anak-anak yang tak punya baju baru atau bahkan makanan cukup?
Mendorong Kegiatan Sosial
Masjid dan komunitas Islam bisa mengadakan kegiatan berbagi kebahagiaan bagi anak-anak yatim dan keluarga dhuafa. Memberikan paket lebaran, mengajak mereka buka puasa bersama, atau sekadar menyapa dengan hangat di hari raya adalah bentuk nyata dari empati.
Pendidikan Empati Sejak Dini
Kisah ini juga bisa menjadi pengantar bagi orang tua untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang berbagi dan empati. Dengan mengenalkan kisah ini, anak-anak akan belajar bahwa tidak semua orang beruntung, dan menjadi baik kepada sesama adalah ajaran utama Islam.
Renungan Terakhir: Makna Kasih Sayang Sejati di Hari Raya
Kisah Rasulullah SAW dan anak yatim di hari raya bukan hanya kisah masa lalu, tapi pelajaran sepanjang masa. Ia mengajarkan kita bahwa kebahagiaan tak akan sempurna jika tidak dibagi. Anak yatim, kaum dhuafa, dan mereka yang terpinggirkan bukan hanya butuh bantuan materi, tetapi butuh kasih sayang dan pengakuan.
Semoga kita bisa menjadi bagian dari umat yang meneladani Rasulullah SAW, terutama dalam hal kepedulian sosial. Karena sejatinya, Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam. Dan itu dimulai dari hal kecil: menjadikan satu hati yang sedih kembali tersenyum di hari kemenangan.